Blogger news

Blogger templates

Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.
Dan sesungguhnya at-tathowwu’ di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas:


1. Keutamaan Sholat Rawatib
Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga”. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya”. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka”. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib
Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh”. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).”  (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib
Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)

5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?
As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)

8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat”. (HR. Muslim no. 881)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ fatawa 11/390)

10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib
Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan”. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin 3/295)

11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib
Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib
Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu”. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/90)

13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang
Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad  1/308)

14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit”. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?”. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa”. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

16. Pengurutan Ketika Mengqodho’
As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat rawatib”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 238)

18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’
As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Duha
As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikhorah
Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan
Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu”. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)

An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..”, akantetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?
As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 609)

24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?
Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-’Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?
 
Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)

28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya.

30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

(Yang dimaksud adalah artikel tersebut: http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))

Faedah:

Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)

Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.

Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin

Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H
Penulis: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-’Anziy

Sumber: Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)
Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma Putra
Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana, MA.
Artikel www.muslim.or.id

Shalat Sunnah Rawatib Subuh

Shalat sunnah rawatib sangat dianjurkan untuk dikerjakan sebagai pelengkap shalat fardhu lima waktu secara umum. [1] Shalat sunnah rawatib Subuh merupakan salah satu di antaranya.

Hukum Shalat Rawatib Subuh
Shalat sunnah rawatib Subuh termasuk shalat sunnah yang paling muakkad dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya dan tidak meninggalkannya, baik di kala bepergian ataupun tidak.

Di antara dalil yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di kala bepergian (safar) adalah hadits Abu Maryam yang berbunyi,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Kami dahulu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan, lalu kami berjalan di malam hari. Ketika menjelang waktu subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan tidur, dan orang-orang pun ikut tidur. Beliau tidak bangun kecuali matahari telah terbit. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muazin (untuk berazan) Lalu ia (muadzin) mengumandangkan azan, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat sebelum shalat subuh, kemudian memberi perintah pada sang muazin, lalu sang muazin beriqamah, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami orang-orang (dalam shalat subuh).”

Demikian juga, Imam al-Bukhari menyatakan,
بَاب مَنْ تَطَوَّعَ فِي السَّفَرِ فِي غَيْرِ دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَقَبْلَهَا وَرَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ
Bab orang yang melakukan shalat tathawu’ (sunnah) dalam perjalanan pada selain waktu sesudah dan sebelum shalat fardhu (rawatib). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dua rakaat shalat fajr dalam safarnya (bepergiannya).” [2]

Ibnu al-Qayyim menyatakan, “Di antara contoh petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya adalah mencukupkan diri dengan melaksanakan shalat fardhu, dan tidak diketahui bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudahnya (shalat fardhu), kecuali shalat witir dan sunnah rawatib Subuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan keduanya pada keadaan mukim ataupun bepergian.” [3]

Juga, pernyataan ‘Aisyah yang berbunyi,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان
Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah secara berkesinambungan melebihi dua rakaat (shalat rawatib) Subuh.” [4]

Oleh karena itu, Ibnu al-Qayyim menyatakan, “Kesinambungan dan penjagaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat sunnah rawatib Subuh lebih dari seluruh shalat sunnah. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan shalat rawatib Subuh dan shalat witir dalam keadaan safar dan mukim.

Dalam safar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa disiplin melaksanakan shalat sunnah rawatib Subuh dan witir, melebihi seluruh shalat sunnah dan rawatib lainnya dan tidak dinukilkan dari beliau dalam safar melakukan shalat rawatib selain rawatib subuh. Oleh karena itu, dahulu Ibnu Umar tidak menambah dari dua rakaat dan menyatakan, ‘Saya telah bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Dalam safar, mereka tidak (melaksanakan shalat rawatib) melebihi dua rakaat.’” [5]

Dengan demikian, jelaslah bahwa hukum shalat sunnah rawatib Shubuh adalah sunnah muakkad (sangat ditekankan) dan termasuk shalat rawatib yang paling dianjurkan.

Keutamaannya
Keutamaan shalat sunnah rawatib Subuh ada dalam hadits-hadits umum tentang keutamaan shalat sunnah rawatib. Namun, ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan shalat rawatib Shubuh ini secara khusus, di antaranya:

1. Hadits ‘Aisyah yang berbunyi,
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Dua rakaat fajar (subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” [6]

2. Hadits ‘Aisyah yang lainnya berbunyi,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِأخرجه الشيخان
Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah yang kontinyuitasnya (kesinambungannya) melebihi dua rakaat (shalat rawatib) Subuh.” [7]

Dalam dua hadits di atas terdapat pernyataan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus yang menunjukkan keutamaan shalat rawatib ini.

3. Hadits ‘Aisyah yang berbunyi,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْر
Dari ‘Aisyah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sebelum subuh. [8]

Tata Caranya
Shalat sunnah rawatib Shubuh dilakukan sebelum shalat fardhu Shubuh dalam dua rakaat sebagaimana shalat dua rakaat lainnya, dengan satu salam.

Meringankannya
Di antara petunjuk dan contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua rakaat shalat sunnah rawatib Subuh adalah dengan meringatkannya dan tidak memanjangkan bacaannya, dengan syarat tidak melanggar hal-hal yang wajib dalam shalat. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Ummul Mukminin Hafshah, yang berbunyi,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ
Dari Ibnu Umar, beliau berkata bahwasanya Hafshah Ummul Mukminin telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu dahulu bila muadzin selesai mengumandangkan azan untuk shalat subuh dan waktu subuh telah tampak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat yang ringan sebelum melaksanakan shalat fardhu subuh. [9]

2. Hadits Ummul Mukminin ‘Aisyah yang berbunyi,
عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat ringan antara azan dan iqamat dari shalat subuh.” [10]

Demikian juga, beliau menjelaskan ringannya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini dengan menyatakan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu meringankan dua rakaat yang ada sebelum shalat fardhu Subuh, hingga aku katakan, ‘Apakah beliau membaca al-Fatihah?‘” [11]

Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat dua rakaat sebelum shalat fardhu Subuh. [12]

Bacaan Setelah al-Fatihah dalam Shalat Rawatib Ini
Sebagian orang berdalih dengan riwayat ‘Aisyah di atas tentang tidak disunnahkannya membaca surat atau ayat setelah al-Fatihah. Ini tentunya tidak benar, karena adanya beberapa riwayat yang menjelaskan bacaan surat atau ayat setelah membaca al-Fatihah dalam shalat dua rakaat sebelum shalat fardhu Subuh ini, di antaranya:

1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membaca dua surat dalam dua rakaat shalat fajr (shalat rawatib subuh), yaitu surat al-Kafirun dan al-Ikhlas. [13]

2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Dari Sa’id bin Yasar bahwasanya Ibnu Abbas menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dalam dua rakaat shalat sunnah fajr, pada rakaat pertama membaca ayat قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا  (al-Baqarah, ayat 136) dan pada rakaat kedua membaca آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ  (Ali Imran, ayat 52). [14]

3. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah fajr membaca firman Allah قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (al-Baqarah, ayat 136) dan yang ada dalam Ali Imran (ayat 64)” [15]

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Shalat sunnah (rawatib) subuh diberlakukan sebagai awal perbuatan dan witir sebagai penutupnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah (rawatib) subuh dan witir dengan membaca surat al-Kafirun dan al-Ikhlas. Kedua surat ini mengandung tauhid al-’ilmi wa al-’amal (tauhid rububiyah), tauhid al-ma’rifah (tauhid al-asma` wa ash-shifat), dan tauhid al-i’tiqad wa al-qashdu (tauhid al-uluhiyah).” [16]

Berbaring Setelahnya
Di antara hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah setelah mengerjakan shalat rawatib Subuh beliau berbaring miring di atas bagian kanan tubuhnya. [17] Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الْفَجْرِ، فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى شَقِّهِ الأَيْمَنِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian telah melaksanakan dua rakaat shalat fajr, maka berbaringlah miring di atas bagian tubuh.”

Menanggapi permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat dalam enam pendapat: [18]

1.    Berbaring ini disyariatkan secara sunnah. Inilah pendapat Abu Musa al-Asy’ari, Rafi’ bin Khadij, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Muhammad bin Sirin, Sa’id bin al-Musayyib, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, ‘Urwah bin az-Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrahman bin ‘Auf, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah, Sulaiman bin Yasar, dan Mazhab Syafi’i dan Hambaliyah. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah di atas, dan membawa hukumnya kepada sunnah (istihbab) dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى سُنَّةَ الْفَجْرِ ، فَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً ؛ حَدَّثَنِيْ ، وَ إِلاَّ ؛ اضْطَجَعَ حَتىَّ يُؤَذَّنَ بِالصَّلاَةِ
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu bila telah melakukan shalat sunnah subuh, maka jika aku bangun maka ia mengajakku bicara dan jika tidak maka ia berbaring hingga shalat diiqamati.” [19]

Tampak dalam hadits ini bahwa beliau tidak berbaring bila ‘Aisyah telah bangun, sehingga ini bisa memalingkan perintah dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu kepada sunnah. Demikian juga, hadits ‘Aisyah ini menunjukkan bahwa beliau terkadang tidak berbaring setelah melakukan rawatib Subuh. Seandainya wajib tentulah beliau tidak akan meninggalkannya sama sekali.

2.    Wajib dan harus dilakukan bahkan menganggapnya sebagai syarat sah shalat subuh. Inilah pendapat Abu Muhammad bin Hazm. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah di atas yang berisi perintah dan perintah menunjukkan kewajiban. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pendapat Ibnu Hazm ini dengan menyatakan, “Ini termasuk pendapat beliau yang bersendirian menyelisihi umat.” [20]

3.    Makruh dan bid’ah. Ini pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar dalam satu riwayat, al-Aswad bin Yazid, dan Ibrahim al-Nakha’i. Mereka berdalil bahwa hal ini tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mesjid. Seandainya pernah dilakukan, tentulah akan dinukil secara mutawatir.

4.    Menyelisihi yang lebih utama. Inilah yang diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri.

5.    Disunnahkan bagi yang telah melakukan shalat malam di hari tersebut, agar dapat beristirahat dan tidak disyariatkan pada selainnya. Inilah yang di-rajih-kan Ibnu al-’Arabi dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, serta Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Syekh al-Utsaimin menyatakan, “Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah yang di-rajih-kan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu yang dirinci, sehingga menjadi sunnah bagi orang yang menegakkan shalat malamnya, karena ia butuh istirahat. Namun, bila termasuk orang yang bila berbaring di tanah dapat tidur dan tidak bangun kecuali setelah waktu yang lama, maka ini tidak disunnahkan baginya, karena ini dapat membuatnya meninggalkan kewajiban.” [21]

6.    Berbaring bukanlah inti yang dimaksud, namun yang dimaksud adalah memisahkan antara shalat rawatib dengan shalat fardhu. Ini diriwayatkan dari pendapat asy-Syafi’i. namun pendapat ini terlalu lemah sebab pemisahan waktu dapat dilakukan dengan selain berbaring.

Yang rajih menurut penulis adalah yang dirajihkan Imam an-Nawawi ketika menyatakan, “Yang terpilih adalah berbaring dengan dasar zahir hadits Abu Hurairah.” [22]

Demikian juga, keumuman hadits ini mencakup umat Islam, apalagi didukung dengan keabsahan hadits Abu Hurairah sebagaimana dinilai shahih oleh Imam asy-Syaukani dan Syekh al-Albani.

Orang yang Tidak Sempat Melakukannya pada Waktunya
Disyariatkan bagi yang tidak sempat melakukan shalat rawatib qabliyah subuh untuk melaksanakannya setelah selesai shalat fardhu subuh atau setelah terbit matahari. Hal ini didasarkan kepada dalil berikut ini.

1. Hadits Abu Hurairah rahidyallahu ‘anhu yang berbunyi,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :” مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang belum shalat dua rakaat qabliyah subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari”. [23]

Perintah dalam hadits ini dipalingkan kepada makna istihbab dengan hadits yang lainnya yang berbunyi,
عَنْ قَيْسِ بْنِ قَهْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الصُّبْحَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ؛ سَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ “
Dari Qais bin Qahdin radhiyallahu’anhu, bahwasanya ia shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum melakukan shalat dua rakaat qabliyah subuh. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah salam maka ia pun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabliyah subuh, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan tidak mengingkarinya. [24]

Jelas hadits ini menunjukkan kebolehan meng-qadha dua rakaat qabliyah subuh setelah shalat fardhu.
Demikianlah beberapa hukum seputar shalat rawatib Subuh. Mudah-mudahan bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.EkonomiSyariat.com
===
Catatan kaki:
[1] HR. an-Nasa’i, Kitab al-Mawaqif, Bab Kaifa Yaqdhi al-Fait min ash-Shalat, no. 605, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i, beliau menyatakan, “Shahih dengan hadits Abu Hurairah berikutnya dan selainnya.”
[2] Shahih, dalam Kitab al-Jum’at.
[3] Zad al-Ma’ad: 1/456.
[4] HR. al-Bukhari dan Muslim. (akan datang takhrij-nya)
[5] Zad al-Ma’ad: 1/305.
[6] HR. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Rak’atai Sunnah al-Fajr wa al-Hatsu ‘alaihima wa Takhfifuhuma ‘alaihima wa Bayan Ma Yustahab ‘an Yaqra’a fihima, no. 725.
[7] HR. al-Bukhari, Kitab Tahajjud, Bab Ta’ahud Rak’atai al-Fajri wa Man Sammaha Tathawwu’an, no. 1169; Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Rak’atai Sunnah al-Fajr wa al-Hatsu ‘alaihima wa Takhfifuhuma ‘alaihima wa Bayan Ma Yustahab ‘an Yaqra’a fihima, no. 724.
[8] HR. al-Bukhari, Kitab al-Tahajjud, Bab ar-Rak’atain Qabla Zuhur, no. 1182.
[9] HR. al-Bukhari, kitab al-Adzan, Bab al-Adzan ba’da al-Fajr, no. 618; dan Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Rak’atai Sunnah al-Fajr wa al-Hatsu ‘alaihima wa Takhfifuhuma ‘alaihima wa Bayan Ma Yustahab ‘an Yaqra’a fihima, no. 723.
[10] HR. Bukhari, Kitab al-Adzan, Bab al-Adzan ba’da al-Fajr, no 584.
[11] HR. al-Bukhari, Kitab at-Tahajjud, Bab Ma Yaqra’ Fi Rak’atai al-Fajr, no. 1171; Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Rak’atai Sunnah al-Fajr wa al-Hatsu ‘alaihima wa Takhfifuhuma ‘alaihima wa Bayan Ma Yustahab ‘an Yaqra’a fihima, no. 724; lafalnya adalah lafal milik al-Bukhari.
[12] Lihat: Shahih Fiqh as-Sunnah: 1/373.
[13] HR. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Rak’atai Sunnah al-Fajr wa al-Hatsu ‘alaihima wa Takhfifuhuma ‘alaihima wa Bayan Ma Yustahab ‘an Yaqra’a fihima, no. 726.
[14] HR. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Rak’atai Sunnah al-Fajr wa al-Hatsu ‘alaihima wa Takhfifuhuma ‘alaihima wa Bayan Ma Yustahab ‘an Yaqra’a fihima, no. 727.
[15] Ibid, no. 728.
[16] Dinukil murid beliau, Ibnul Qayyim, dalam Zad al-Ma’ad: 1/306, kemudian Ibnu al-Qayyim menjelaskan hikmah-hikmah yang terkandung dalam dua surat tersebut.
[17] HR. at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalat, Bab Ma Ja’a Fi al-Idh-Thija’ ba’da Rak’atai al-Fajri, no. 420; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih Sunan Abi Daud, no. 1146.
[18] Pembahasan ini diambil dari beberapa referensi, di antaranya: Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’ karya Syekh Ibnu Utsaimin, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar karya asy-Syaukani, Zad al-Ma’ad karya Ibnu al-Qayyim, dan Shahih Fiqh as-Sunnah karya Abu Malik.
[19] HR. al-Bukhari, Kitab at-Tahajjud, Bab Man Tahadatsa ba’da ar-Rak’atain wa Lam Yadhthaji’, no. 1161.
[20] Pernyataan ini dinukil langsung Ibnu al-Qayim dari beliau. Lihat: Zad al Ma’ad 1/308.
[21] Syarhul Mumti’: 4/100.
[22] Dinukil dari Nail al-Authar: 3/25.
[23] HR. at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalat, Bab Ma Ja’a fi I’adatihima ba’da Thulu’ asy-Syamsi, no. 424; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi: 1/133.
[24] HR. at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalat, Bab Ma Ja’a fi Man Tafututhu ar-Raka’atan qabla al-Fajr Yushallihuma ba’da Shalat ash-Shubh, no. 422; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi: 1/133.

Kutamaan Shalat Shubuh dan Qabliyah Shubuh

Wahai saudaraku…semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa memberikan keselamatan kepadamu dan selalu menjaga dirimu. Janganlah engkau merasa sayang meluangkan sedikit waktumu untuk membaca lembaran ini. Siapa tahu Allah subhanahu wata’ala akan memberikan manfaat kepadamu dan kepada kita semua.

Suatu malam seorang lelaki shalih bangun dari tidurnya…ketika itu menjelang akhir malam mendekati waktu Fajar… ia dapati istrinya sedang bertahajjud, shalat dan berdoa dengan linangan air mata, memohon kepada Allah dengan segenap ketulusan hati. Lelaki itu sejenak tertegun melihat keshalihan istrinya, bagaimana dia seorang laki-laki asyik tidur, sementara sang istri begitu zuhud dan giat beribadah? Maka disapanya sang istri, "Tidakkah engkau tidur, apakah gerangan yang membuatmu seperti itu hingga larut begini? Maka istri yang shalihah itu menjawab, "Bagaimana akan tidur, seseorang yang tahu bahwa kekasihnya (Allah subhanahu wata’ala)tidak pernah tidur?”

Keutamaan Qabliyah Shubuh

Qabliyah Shubuh yaitu shalat sunnah dua raka’at yang dilakukan sebelum shalat Shubuh. Ia merupakan amalan yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan di dalam sabdanya, artinya,
"Dua raka’at Fajar(sebelum Shubuh) lebih baik daripada dunia seisinya." Dan dalam riwayat Muslim disebutkan, "Sungguh dua raka’at itu (sebelum Shubuh) lebih aku cintai daripada seluruh dunia."

Jika dunia dengan segenap isi dan perbendaharaannya di mata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat menyamai dua rakaat sebelum Shubuh maka bagaimana lagi keutamaan shalat Shubuh itu sendiri.

Keutamaan Shalat Shubuh
  • Sebagai Sebab Masuk Surga dan Selamat dari Neraka

    Disebutkan di dalam sebuab hadits bahwa siapa saja yang menjaga shalat Shubuh dan Ashar maka akan dimasukkan ke dalam Surga dan dijauhkan dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, "Barang siapa yang shalat di dua waktu yang sejuk maka dia akan masuk surga." Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda, "Tidak akan dijilat api neraka seseorang yang shalat sebelum Matahari terbit dan sebelum tenggelam." Yang dimaksudkan dengan dua waktu yang sejuk adalah waktu shalat Shubuh dan shalat Ashar.
  • Disaksikan Malaikat

    Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Dirikanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. 17:78)

    Shalat Shubuh, disebut Qur'anul Fajr karena bacaan al-Qur'an pada shalat ini lebih panjang daripada shalat-shalat yang lain, dan shalat Shubuh ini disaksikan oleh para malaikat. Terkait dengan ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam sebuah haditsnya,
    "Malaikat saling bergantian dalam mengawasi kalian semua pada waktu malam, dan juga malaikat pengawas di waktu siang, mereka berkumpul pada waktu shalat Shubuh dan shalat Ashar. Kemudian malaikat yang berjaga malam hari naik, lalu Allah bertanya kepada mereka tentang hamba-hamba-Nya sedangkan Allah lebih tahu keadaan mereka, "Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kalian tinggalkan? Maka para malaikat menjawab, "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan ketika kami datang mereka pun juga sedang dalam keadaan shalat."

    Sungguh bahagia orang-orang yang mau memerangi diri, bangkit meninggalkan kasur-kasur mereka. Berjuang keras melawan segala yang menariknya ke tempat tidur, rasa kantuk, dingin, malas dan lain sebagainya. Mereka berharap untuk mendapatkan tiket yang begitu mahal, terbebas dari sifat nifaq, dan untuk menggapai apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masuk surga. Mereka juga ingin mendapatkan persaksian mulia dari para malaikat, ingin menjadi hamba-hamba yang ditanyakan Allah keadaannya, lalu dijawab oleh para malaikat bahwa mereka sedang shalat.
  • Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar

    Karena besarnya keutamaan waktu Shubuh ini maka Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan menggunakan waktu itu, Dia berfirman,
    “Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. 89:1-2)
  • Memberi Banyak Manfaat
Wahai saudaraku, merupakan ciri khas dari shalat Shubuh ini adalah bahwasanya dia dapat menyegarkan dan memperbaharui keimanan, menghidupkan hati, melapangkan dada, membuat jiwa penuh dengan kebahagiaan serta menjadikan berat timbangan amal kebaikan.

Sesungguhnya nikmatnya tidur pada waktu Shubuh yang hanya sekian menit tidaklah sebanding dengan kengerian di kubur, atau kengerian jurang-jurang di neraka. Kala itu seseorang hanya mampu menggigit jari menyesal untuk selama-lamanya seraya mengatakan, “Wahai Rabb kembalikan aku ke dunia, aku akan melakukan amal shalih yang dulu aku tinggalkan." Betapa celaka, kenikmatan yang di akhiri dengan penyesalan, dan kenyamanan yang membawa penderita an begitu menyakitkan.

Saudaraku tercinta, cobalah kita ingat nikmat Allah yang terus menerus mengiringi kita tiada henti, coba bandingkan kondisi anda dengan kondisi orang lain. Ketika mereka berbaring di tempat tidur, kepala mereka masih diselimuti oleh berbagai beban berat, kegalauan dan kekhawatir an, apa yang akan dimakan besok? Sementara tubuh diliputi rasa penat dan lelah, setelah seharian mencari sesuap nasi untuk menghilang kan rasa lapar. Sebagian dari mereka ketika bangun di pagi hari terkadang ditemani oleh dentuman meriam dan rentetan tembakan senapan, sementara perut terasa lapar sedang hawa pun demikian dingin menyengat. Di sisi mereka anak-anak yang masih kecil menangis, berteriak kelaparan dan mengeluh kesakitan.

Adapun kita…sungguh kita dalam keadaan aman ketika makan dan minum, badan kita pun sehat, masih punya kekuatan dan umur. Maka janganlah itu semua menipu dan membuat kita terlena, dengan menggunakan kenikmatan tersebut untuk kemaksiatan dan dosa serta lupa bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah melimpahkan segala nikmat dengan tanpa batas.

Saudaraku, apakah engkau merasa aman ketika menuju pembaringanmu, padahal boleh jadi ia adalah tidur terakhirmu di dunia. Engkau tidak bangun lagi setelahnya dan ketika bangun tahu-tahu engkau telah berada di alam kubur. Maka selayaknya kita bersiap-siap selagi kita masih berada di dunia ini. Siapkanlah jawaban untuk di kubur, jawaban yang benar dan lurus tentunya. Jangan lupa kita selalu memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menjadikan kita semua orang-orang yang mau mendengarkan ucapan dan mau mengikuti mana yang baik di antara ucapan itu, menjadikan akhir kehidupan kita dengan akhir kehidupan yang baik dan bahagia, dan mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala menolong kita untuk selalu berdzikir mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan memperbaiki ibadah hanya kepada-Nya.

Jika Shalat Shubuh Diremehkan

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. 4:103-104)

Islam adalah jalan kehidupan yang universal dan mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Islam merupakan sebuah ikatan antara seorang hamba dengan Rabbnya, Allah subhanahu wata’alaberfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia,dan jangan kamu menyembunyi kannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS. 3:187)

Maka seorang hamba harus iltizam (komitmen) terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Rabbnya. Dan Allah subhanahu wata’ala pun telah memberikan berbagai macam hak manusia dan berikut keistimewaannya dan pada akhirnya seorang hamba akan mendapatkan haknya yang terbesar sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya,
"Dan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak menyiksa siapa saja yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun."

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:208)

Para mufassirin mengatakan tentang makna ayat ini (yaitu), "Terimalah Islam dengan segenap hukum dan syari'atnya." Allah subhanahu wata’ala telah murka kepada bani Israil yang hanya menerima sebagian ajaran agama yang mereka kehendaki serta enggan mengerjakan sebagian yang lainnya. Maka Allah subhanahu wata’ala berfirman
“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” (al Baqarah:85)

Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu memvonis orang yang tidak shalat Shubuh dan Ashar dengan berjama'ah sebagai munafiq ma'lumun nifaq (yang nyata nifaqnya) maka bagaimana dengan orang yang sama sekali tidak mengerjakan shalat, berjama'ah maupun tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, artinya,
"Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafiq daripada shalat Subuh dan Isya'. Seandainya mereka mengetahui besarnya pahala kedua shalat tersebut, niscaya akan mendatanginya meskipun dengan merangkak." (HR al-Bukhari)

Allah subhanahu wata’ala berlepas diri dari orang- orang yang meninggalkan shalat fardu lima waktu, sebagaimana disebutkan di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam artinya,
"Janganlah engkau meninggalkan shalat dengan sengaja, karena sesungguhnya siapa saja yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka tanggungan Allah dan Rasul-Nya telah terelepas darinya." (HR Ahmad dalam al-Musnad)

Solusi

Di antara solusi yang insya Allah dapat membantu kita menjadi orang-orang yang dapat menjaga shalat adalah sebagai berikut :
  • Hendaknya memposisikan shalat sesuai dengan kedudukannya dalam kehidupan kita, sehingga dalam seluruh aktivitas kehidupan kita senantiasa menekankan masalah shalat ini, bukan sebaliknya menyepelekannya.
  • Mempergunakan jam(bel/weker) untuk membangunkan kita agar tidak terlambat dalam menjalankan shalat Shubuh.
  • Tidur lebih awal, agar dapat bangun lebih awal pula, dan usahakan melakukan pekerjaan atau aktivitas setelah selesai shalat Shubuh. Karena Allah subhanahu wata’ala membagi rizki-Nya pada waktu setelah Shubuh ini.
  • Membiasakan untuk membaca dzikir dan do’a sebelum tidur, dan memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menolong kita untuk selalu mengerjakan shalat.
  • Merasa sangat bersalah dan berdosa ketika kita ketinggalan shalat dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan itu.
Dialihbahasakan dari brosur berbahasa Arab dengan tema Keutamaan Shalat Shubuh dan Qabliyah Shubuh. (Khalif)

https://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=288

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Memurnikan Akidah . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates